Banner Iklan

Bangsa Beradab: Menghormati Profesi Akar Peradaban

Admin JSN
19 Juni 2025 | 22.58 WIB Last Updated 2025-06-19T15:58:24Z
cr: BandungBergerak.Id

Oleh: Triyo Supriyatno
Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Di balik setiap dokter yang menyelamatkan nyawa, insinyur yang membangun jembatan, seniman yang menggugah perasaan, atau pemimpin yang menentukan arah bangsa, ada sosok yang kerap tak disebut namanya: guru. Sosok yang mungkin tak tampil di panggung keberhasilan, tetapi jejaknya ada dalam setiap pencapaian yang lahir dari pengetahuan. Kita bisa menyebutnya sebagai profesi akar. Ia tak selalu terlihat, tak selalu glamor, tetapi justru darinya pohon-pohon profesi lainnya bertumbuh.

Mengajar bukan sekadar pekerjaan. Lebih dari sekadar rutinitas transfer ilmu di ruang kelas, profesi guru memikul tanggung jawab yang jauh lebih dalam dan mendasar: membentuk cara berpikir, mengasah kepekaan moral, dan menanamkan nilai-nilai hidup kepada generasi penerus. Inilah pekerjaan akar yang menentukan kokoh atau rapuhnya sebuah peradaban.

Dalam konteks Indonesia, kita tentu tak asing dengan ungkapan klasik dari Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Seorang guru ideal bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik yang memberi teladan di depan, mendorong di tengah, dan membimbing dari belakang. Filosofi ini menempatkan guru sebagai figur sentral dalam proses pembentukan manusia seutuhnya.

Sayangnya, dalam realitas sosial kita hari ini, penghormatan terhadap profesi guru masih kerap bersifat seremoni dan simbolik. Di Hari Guru, kita sibuk membuat poster ucapan terima kasih, menggelar apel penghormatan, atau memberikan potongan harga di pusat perbelanjaan. Namun, di luar itu, kesejahteraan dan martabat sosial guru masih sering terabaikan.

Padahal, apabila kita telisik sejarah, bangsa-bangsa besar selalu lahir dari peradaban yang menjunjung tinggi profesi guru. Jepang, misalnya, memiliki tradisi yang menarik pasca-Perang Dunia II. Saat negara itu hancur-lebur, Kaisar Hirohito dikabarkan bertanya, "Berapa jumlah guru yang tersisa?" Ia paham bahwa membangun kembali Jepang bukan hanya soal infrastruktur, tapi membentuk kembali karakter dan jiwa bangsanya melalui pendidikan.

Begitu pula dalam khazanah Islam, Rasulullah SAW sendiri diutus bukan hanya sebagai pembawa wahyu, tapi sebagai mu’allim, guru bagi umat manusia. Dalam berbagai hadis disebutkan, "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pendidikan akhlak menjadi inti dari misi kenabiannya. Sejarah mencatat, generasi sahabat yang dibina langsung oleh Nabi adalah generasi emas yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga luhur budi pekertinya.

Dalam dunia modern yang serba transaksional saat ini, kita perlu kembali menempatkan profesi guru pada posisi strategis dan terhormat. Bukan semata-mata karena jasanya dalam mentransfer ilmu, tapi karena perannya dalam membentuk manusia. Seorang guru yang baik tidak hanya mencetak ahli di bidangnya, tetapi membentuk manusia yang utuh: yang tahu bagaimana bersikap dalam keberhasilan maupun kegagalan, yang mampu menjaga integritas di tengah godaan, dan yang berani berpihak pada kebenaran meski harus berbeda arus.

Dampak seorang guru memang kerap tak terlihat secara langsung. Ia tidak seperti politisi yang bisa dihitung suara dukungannya, atau pengusaha yang bisa diukur nilai omzetnya. Tapi pengaruhnya sangat panjang dan melekat. Seorang guru bisa jadi telah lama wafat, tapi nilai yang ditanamkan akan hidup dalam laku para muridnya, diteruskan ke generasi berikutnya.

Karena itu, menghormati profesi guru bukan hanya soal menaikkan gaji atau memberikan penghargaan di hari-hari tertentu, meski itu penting. Lebih jauh, ini soal membangun kesadaran kolektif bahwa kemajuan sebuah bangsa dan peradaban dimulai dari mereka yang setiap hari dengan sabar menyalakan cahaya di kepala dan hati generasi berikutnya.

Sudah saatnya kita memandang profesi guru bukan sebagai pilihan karier pelarian atau pekerjaan sekadar pengisi waktu. Negara dan masyarakat harus berani menempatkan guru sebagai profesi terhormat, strategis, dan menjadi dambaan anak-anak muda. Untuk itu, perlu kebijakan serius, mulai dari reformasi pendidikan guru, peningkatan kesejahteraan, hingga penyediaan ruang partisipasi yang luas dalam perumusan arah pendidikan bangsa.

Di era disrupsi teknologi saat ini, guru juga menghadapi tantangan baru. Bukan hanya mengajarkan materi pelajaran, tapi juga membimbing generasi digital agar tetap memiliki karakter, etika, dan nalar kritis di tengah banjir informasi. Di sinilah profesi guru tak pernah kehilangan relevansi, justru semakin urgen untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi berjalan seiring dengan kemajuan moral dan kemanusiaan.

Dalam filsafat pendidikan, mengajar sering disebut sebagai the mother of all professions. Tanpa guru, takkan lahir dokter, insinyur, ekonom, atau seniman. Guru adalah akar yang menopang seluruh cabang-cabang peradaban. Dan seperti akar pada sebuah pohon, ia memang tak selalu tampak. Tapi tanpanya, pohon-pohon itu takkan pernah berdiri kokoh, apalagi tumbuh tinggi menjulang.

Maka, ketika kita berbicara tentang masa depan bangsa, tentang kemajuan peradaban, atau tentang Indonesia Emas 2045, jangan lupa bahwa semua itu bermula dari ruang-ruang kelas kecil, dari tangan para guru yang menyalakan cahaya ilmu, budi pekerti, dan nilai-nilai kehidupan kepada generasi muda.

Karena peradaban besar hanya bisa dibangun oleh bangsa yang menghormati akar-akarnya.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bangsa Beradab: Menghormati Profesi Akar Peradaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now