Lelaki Jahanam Part 6

Anis Hidayatie
11 Mei 2021 | 05.02 WIB Last Updated 2023-03-04T06:36:47Z

Novel- Napas gadis kecil tersengal. Rambut kucir duanya basah oleh keringat. Dia hanya memakai kaus tanpa lengan dan celana dalam putih. Sekarang warnanya berubah kecoklatan pada bagian pantat. Baru saja Tia terpeleset di pematang sawah. Hujan siang tadi Manusia hidup mengikuti takdirnya masing-masing. Tak ada yang bisa memilih. Cobaan, ujian sudah ditetapkan, tak ada yang mampu mengubahnya. Kecuali satu ; kebahagiaan. Rasa itu akan melingkup ketika hati penuh syukur dengan keadaan. Berdamai dengan kekurangan. 


Dalam gelombang kepedihan, seulas senyum mampu menjadi penawar.


Bulan-bulan pertama Wahyu kabur, Tia seperti kehilangan cahaya. Berat badannya turun drastis, membuat bayi lahir prematur. Orang tua Tia terpaksa menjual hampir seluruh aset warisan leluhur demi menyelamatkan nyawa tak berdosa yang berbobot tak sampai 2 Kg. Biaya rumah sakit benar-benar mencekik leher. 


Cahaya kehidupan Tia semakin pudar. Setelah melahirkan dengan operasi caesar, ia terus menangis. Sakit hati pada Wahyu dan denyutan tak tertahan pada luka robekan membuatnya hampir melakukan tindakan gila. Tia bahkan menolak menjenguk bayi di ruangan inkubator. 


Saat bisikan iblis menguasai, wanita berbadan lemah itu hendak menerjunkan diri di lantai paling atas bangunan. Ia ingin berpamitan kepada anak lelaki terkutuk yang tega meninggalkan. Terseok sendirian, Tia berjalan menuju ruangan khusus perawatan intensif bagi bayi yang bermasalah. Seorang perawat membantunya memakai pakaian steril dan masker. 


Dengan perut berdenyut, Tia menuju makhluk mungil yang selama delapan bulan hidup dalam rahimnya. Mual melanda, melihat bayi bertubuh merah penuh selang melintang menembus kulit. Dada kecil dengan tulang menonjol bernapas susah payah. Mungkin sang bayi merasakan kehadiran ibunya, tiba-tiba saja, tangisan serak menyayat ditingkahi kaki dan tangan kurus berbalut kulit keriput menendang-nendang lemah seolah menjeritkan pesan. 


"Ibu, aku takut ...."


Mata Tia berkaca-kaca. Pandangannya tersapu kabut, lelehan sebening embun berhamburan. Membasahi penutup wajah. Menembus ke dalam kain, masuk melalui celah bibir yang terisak. 


Kesadaran menghantam, Tia merasa sangat berdosa kepada buah hatinya. Jemarinya bergetar saat menyentuh pembatas kaca yang memisahkan. Ia ingin merengkuh bayi telanjang itu dalam pelukan, memberikan kehangatan, membisikkan harapan. 


"Nak, Ibu di sini. Tenanglah, Sayang, Ibu akan selalu bersamamu."


Tangis ibu dan anak itu pecah, beribu doa teruntai melayang ke langit. Meluncur secepat kilat, berkilauan bersama cahaya doa yang lain, menunggu terkabul. 


***


Perjalanan spiritual dimulai. Sepulang dari rumah sakit, Tia memutuskan untuk berhijab. Ia bahkan memaksa orang tuanya untuk memanggil Kyai Hasan. Tia bersyahadat lagi di hadapan sesepuh desa yang paling disegani. Memohon restu dan meminta doa agar bisa merawat anaknya sebagai wanita terhormat. 


Lebih dari sepuluh tahun mengenyam pahit, membuat Tia dewasa. Ia sadar bahwa keinginan tak harus terpenuhi. Kerasnya hidup mengajarinya bersikap bijak, berani mengambil keputusan dan hanya menggantungkan harapan pada Sang Pencipta. 


***


"Tia, Nyonya Dini mencarimu." Bu Mini menepuk pundak Tia yang tengah menyetrika baju. "Tinggalkan saja, biar aku yang meneruskan."


"Baik, Bu."


Tergopoh wanita itu menemui Dini. Dia berdiri di bawah jemuran baju berbau harum. Baru tiga hari yang lalu mereka bertemu, mungkin baju kotor orang kaya memang cepat menumpuk. 


"Mau memcuci baju, Nyonya?" 


"Iya, tadi sudah ditimbang sama bosmu."


"Kata Bu Mini, anda mencari saya? Maaf ada keperluan apa, nggih?"


Embusan angin tengah hari membuat rambut kecoklatan sepunggung itu meriap. Dini merapikannya perlahan, menjepit dengan jemarinya yang lentik. 


"Aku ingin melamarmu, Tia."


"Maksudnya?"


"Jadilah asisten rumah tanggaku. Aku sangat membutuhkan pembantu."


Tia menggigit bibir bawahnya, "maaf, Nyonya, saya nggak enak sama Bu Mini."


"Pekerjaannya nggak berat, kok. Hanya membersihkan rumah dan cuci setrika."


"Tapi, Nyonya ..."


"Gajinya lumayan," Dini menyebutkan nominal yang membuat pupil mata Tia melebar. "Kutunggu jawabanmu besok sama ngantar bajuku, Oke."


Tanpa menoleh lagi, wanita berusia awal 40-an itu pergi mengendarai motornya. Tia mengembuskan napas. Bingung dengan situasi yang tak disangka. 


Ia tak ingin mengecewakan Bu Mini yang telah mengulurkan tangannya. Gaji harian yang tak terlalu banyak bisa membuat Tia bertahan hidup. Meskipun masih belum cukup untuk menyekolahkan Aza. Ia ingin bertahan di penatu itu sampai ada pabrik yang mau menerimanya. 


Selepas Magrib, Tia pamit undur diri tanpa menceritakan maksud Dini kepada bosnya. Toh dia juga tahu diri, tak akan semudah itu berpaling karena uang. Walaupun, sejujurnya Tia sangat membutuhkannya. 


Pikiran berkecamuk sepanjang jalan pulang. Tak terasa, langkahnya sudah sampai pada kamar kecil tempat melepas penat. Ada yang aneh, biasanya saat mengucap salam, Aza pasti menyambut dengan riang. Pelukan dan kecupan akan dihadiahkan kepada putra yang ditinggal seharian. 


Pintu tak terkunci. Dengan mudah Tia mendorong kayu lapuk penuh poster bonek dan mendapati Aza duduk meringkuk di sudut indekos. Rupanya, bocah kurus itu tak mendengar pintu dibuka. Bahu kecil memunggunginya, bergetar naik turun tak bersuara. 


Lelah yang mendera setelah seharian bekerja sirna. Bayangan kesedihan menjelma, takut buah hatinya terluka. 


"Aza? Sayang? Kamu kenapa, Le?" Tia melepas sandal japit kuning pudar, berlari mendekap bocahnya yang mendadak kaku. 


"Aku nggak apa-apa, Ibu." Jemari kurus menyeka air mata dan ingus dari wajah tirus, "hanya kelilipan debu."


"Apa kamu dipukul lagi sama Resa?"


Aza menggeleng. 


"Dicubit sama Kevin anak ibu kost?"


Bocah itu tetep menggeleng. 


"Apa mungkin diejek Satria?"


Kali ini Aza diam saja. 


"Dia berkata apa, Nak? Ceritakan pada Ibu."


"Kata Satria, aku anak miskin nggak bisa sekolah, Bu." Kristal bening kembali meleleh dari sudut mata, bercampur dengan ingus. Aza segera menghapusnya. 


Tia menatap mata anaknya lembut, mencoba menenangkannya dengan tepukan di bahu dan belaian lembut pada puncak kepalanya. 


"Dengarkan kata-kata Ibu, Nak. Orang miskin itu nggak punya rumah untuk tinggal, nggak punya makanan untuk di makan. Sementara Aza memiliki itu semua. Sabar sebentar lagi, Sayang. Ibu akan mendapatkan uang supaya Aza bisa sekolah lagi. Aza mengerti?"


Bocah itu mengangguk. Tia membuka tas kumalnya. Mengambil dua bungkus wafer warna kuning. Ia membuka dan memberikan kepada anaknya. Aza menerima dengan senyum berbinar. Mulutnya terbuka lebar, memasukkan jajan kesukaan yang selalu dibawakan saat ibunya pulang kerja. Mendung pada wajah polos itu lenyap, digantikan binar bahagia. Ah, semudah itu seorang anak melupakan kesedihan. Tia banyak belajar dari Aza. 


Meskipun bibir tersenyum, sebenarnya hati Tia riuh dengan berbagai pertanyaan. Haruskah menerima tawaran Dini? Apakah sopan meninggalkan penatu hanya gara-gara gaji? Di usianya sekarang, pabrik mana yang mau menerima, sementara banyak lulusan SMU yang antri mengular. 


Melihat anaknya, Tia sudah mengambil keputusan. Bukankah tujuannya hidup untuk membahagiakan Aza? Kebahagiaan bocah itu adalah pergi sekolah. Tia akan berusaha semampunya untuk menyekolahkan Aza. Meskipun harus mengecewakan Bu Mini. 


Bukankah hidup itu pilihan? Manusia bebas memilih dan menjalani sesuai dengan tuntunan yang sudah tertulis di dalam buku putih masing-masing. Apapun hasilnya.


***


Dalam gigil, Tia melangkah menuju rumah Dini. Gemetar wanita itu bercerita kepada bos penatu. Takut dengan reaksi yang bisa membuat hatinya berdenyut. Kekhawatiran tak terbukti. Bu Mini melepaskan Tia dengan titik air mata. Ia bahkan mendoakan Tia mendapatkan kebahagiaan di tempat kerja baru. 


Bersyukur, hanya itu yang bisa dilakukan. Bertemu orang-orang baik, menolong tanpa pamrih dan saling mendoakan dalam kebaikan. 


Rumah megah berlantai dua itu tertutup rapat. Tia membayangkan membersihkan tempat sebesar itu sendirian. Sesuai dengan gaji yang dijanjikan. Wanita itu menekan bel pintu. 


Ting tong. Ting tong. 


Lama tak ada jawaban. Kembali bel bergema. Tia menanti dengan jantung bertalu. 


Perlahan pintu kayu berukir terbuka. Seorang lelaki membuka. Tia memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas sosok yang datang dengan langkah tegap. Saat pandangan mereka bersatu, Tia merasa terkejut.


Sangat terkejut. 


Bersambung


 jalan tanah berlumpur menjadi licin. 

Suara Emaknya yang berteriak menyuruh berangkat ngaji masih terngiang. Tia paling malas kalau mengaji, gurunya galak. Suka memukul meja menggunakan antena televisi. Tia pernah kena sabet di telapak tangan. Dia ramai bercanda bersama teman-temannya. Kapok tak mau berangkat ke surau sampai sekarang. 

Nyaris setiap sore dia melarikan diri kalau disuruh mengaji. 

Mata bening itu terpejam menahan denyutan pada pergelangan kaki. Tia mencoba berdiri dari posisinya, gagal! Tubuh kurusnya limbung dan terduduk di genangan lumpur. 

Tia tidak bisa berjalan!

Jemari kecilnya menyentuh bagian yang sakit. Bengkak kebiruan mulai menyembul di sekitar tulang tungkai kaki yang menonjol. Pandanganya mengabur, isakan tersendat mengiringi sebelum ledakan histeris menggema. Sayang sekali keadaan sawah lengang. Semua orang sepertinya memilih beristirahat di rumah ketika hujan mengguyur. 

Tia ketakutan. Suaranya sampai serak, tenggorokan sakit karena menangis hampir lima belas menit. Akhirnya gadis itu mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia merangkak menuju rumah di ujung jalan. Menahan denyutan yang semakin menggila. 

Sampai akhirnya sosok itu datang. Pemuda yang baru saja lulus SMU berderap ke arah Tia. Dia langsung menggendong tubuh kotor penuh tanah. Tak memedulikan baju harum yang ikut ternoda. 

"Tia, kamu dari mana? Emakmu mencari dari tadi." Suara penuh kekhawatiran menyapa. Tia menyembunyikan wajah ke dalam dada penolongnya. 

"Mas Zain, kakiku sakit." Tangisan meledak, ingus dan air mata membasahi kaus biru yang dipakai Zain. 

"Stt ... Tenang, aku akan mengantarkanmu pulang."

Sepanjang jalan, Tia terisak. Ketakukan perlahan memudar, digantikan ketenangan. Zain, anak sulung Pak Karso pemilik motel dekat rumah Tia. Sayangnya, itulah terakhir Tia melihat pemuda idaman kampung. Kabarnya, Zain pergi merantau ke kota dan jarang pulang. Meskipun pulang, Tia tidak pernah beruntung melihatnya. 

Sekarang, sosok yang sama berdiri tepat di depannya. Zain membuka pintu pagar. Terdengar suara besi beradu, lelaki bermata sendu itu mengambil kresek merah berisi baju. 

"Terimakasih, Bu. Ini uang laundrynya." Zain mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantung celana. "Kembaliannya diambil saja."

Zain tak mengenalinya! Tia masih terpana. 

"Ma-maaf, apa nyonya Dini ada?"

"Ada perlu apa?"

"Kata nyonya butuh pembantu. Saya menerima tawarannya."

Zain mengerjab, nampak memikirkan sesuatu. Bola matanya berputar pelan. Lalu wajahnya mengendur dan tersenyum.

"O, iya. Kalau begitu silakan masuk dulu. Istri saya sedang mandi."

Langkah itu tetap sama, panjang-panjang dan penuh percaya diri seperti berpuluh tahun lalu. Tia duduk di kursi plastik dekat pintu masuk. Bersyukur karena Zain tidak mengenalnya. 

Terkadang, takdir memang tak pernah bisa diduga. Manusia tinggal menjalani dengan kejutan manis dan pahit yang sudah disiapkan. 

Sepuluh menit kemudian, Dini keluar. Aroma sabun menguar dari kulit putihnya. Tanktop gelap dan celana jeans selutut membalut tubuh padat berisi. 

"Gimana, Tia? Apa kamu menerima tawaranku?" Wajah Dini condong mendekat, Tia kagum dengan kulit yang masih kencang tanpa sedikitpun keriput. Hanya garis tawa yang tercetak jelas pada sudut bibirnya. 

"I-iya, Nyonya. Saya sudah pamit dengan Bu Mini."

Dini tertawa, ia mengibaskan rambut kecoklatan yang menguarkan wangi. 

"Semoga kamu betah. Mulai besok kamu bisa mulai bekerja."

"Terimakasih, Nyonya."

"Ayo ikut aku sebentar."

Dini berdiri, tangannya melambai kepada Tia yang masih mencerna kata-kata. 

"Iya, Nyonya."

Tia berjalan di belakang Dini, menyusuri sisi kanan rumah. Tepat di depan air mancur buatan, Dini membuka pintu sebuah kamar. Mereka masuk, terlihat sebuah kasur lipat teronggok di sudut ruangan, kipas angin dinding pada sisi kanan. Sebuah kamar mandi mungil berpintu plastik berada di ujung kamar. Porselen putih mengkilap membuat kamar itu terlihat luas. 

"Dulunya ini kamar pembantu. Suamiku yang merancangnya. Dia tak suka ada orang asing yang berkeliaran di dalam rumah. Kamu bisa menempatinya, Tia. Daripada kosong."

Tia menatap kasur lipat yang masih utuh dengan plastiknya. Sepertinya itu kasur yang bagus. Dia teringat putranya yang selalu tidur beralaskan karpet tipis. Pasti Aza akan senang tinggal di sini. 

"Saya punya anak satu, Nyonya."

"Nggak apa-apa, Tia. Bawa saja anakmu ke sini. Oiya, tugasmu membersihkan seluruh ruangan dua kali sehari dan mengurusi baju-baju kotor sekalian cuci piring. Kalau semua sudah selesai kamu bisa beristirahat. Kerja jam 8 setelah suamiku berangkat ke kantor dan selesai jam 4 sore. Setelah itu bebas, kecuali kalau kupanggil."

"Iya, Nyonya. Saya akan berusaha sebaik-baiknya. Besok saya akan mulai kerja."

"Oiya, untuk keperluan makan dan kebersihan semua kamu tanggung sendiri."

"Baik, Nyonya."

Setelah dirasa cukup, Tia undur diri. Wajahnya berseri, ia merasa mendapatkan pertolongan yang sangat berarti. Bila hanya makan nasi dan tempe saja, ia yakin uang tabungan yang disisihkan akan cukup bertahan sebulan. Bulan berikutnya ketika menerima gaji pertama dari majikan baru, wanita itu akan mendaftarkan sekolah dan mengajak Aza makan ayam goreng terkenal. Seperti teman-temannya. 

Harapan membuat langkah wanita itu semakin cepat. Bibirnya melengkung indah. Doanya selama ini akhirnya terkabul. Doa sederhana yang setiap hari digantungkan ke langit : membahagiakan Aza. 

***

Tia membawa semua barang-barangnya. Satu tas pakaian digendong Aza. Satu tabung gas hijau kecil dan satu kardus berisi kompor kecil, beberapa piring plastik, sendok, wajan dan panci berjejalan di dalamnya. Dia membuang karpet yang sudah tak layak pakai.

Cicitan burung menemani langkah ibu dan anak itu menuju perumahan Pondok Nirwana Indah. Mereka disambut Dini dan suaminya dengan hangat. 

Majikan perempuan Tia itu bahkan mencubit gemas hidung Aza.

"Ganteng banget anakmu, Tia. Dia pasti mirip bapaknya." Dini tertawa lebar. Aza tersipu. Bocah itu menunduk.

Dini berganti menatap suaminya, "ah, jadi kangen Abella. Kapan kita mengunjungi Abella, Mas? Putri kita satu-satunya yang memilih sekolah Boardingschool di daerah Malang."

"Bulan depan, Dik," jawab Zain singkat. "Ayo kubantu mengangkat ini ke dalam."

Tanpa ragu, Zain mengangkat kardus bawaan Tia dan meletakannya di dalam kamar. Setelah itu ia masuk, bersiap berangkat kerja. Dini mengikuti suaminya, meninggalkan Tia dan Aza yang masih mengatur napas. 

Tia mengambil ransel dari punggung anaknya. Jemarinya meraih tangan hangat, membimbingnya masuk kamar. Mata Aza terbelalak melihat ruangan yang bersih. Cahaya matahari menerobos melalui jendela kaca dan pintu yang terbuka. Dia melepaskan sandal, berlari sambil merentangkan kedua tangan. 

Menjatuhkan diri di atas kasur yang masih terlipat rapi. Beberapa menit berikutnya, bocah itu masih diam tak bergerak. Lalu dia menarik tali pengikat, membentangkan kasur selebar satu meter dan berbaring di atasnya. 

"Ibu, ini nyaman sekali." Aza bergulung mengelingi kasur. Suara plastik beradu membuatnya semakin semangat. "Ibu, Sini."

Aza berhenti bergerak. Ia tidur terlentang, bocah itu menepuk kasur. Tia yang masih menata kompor bergegas mendatangi Aza. Ia tahu maksud anaknya. Perlahan, wanita itu membaringkan tubuh di samping Aza. 

Bocah itu meringkuk, memeluk pinggang ramping ibunya. "Nanti malam pasti Ibu akan tidur nyenyak."

"Tentu saja, Sayang. Asalkan bersamamu, Ibu akan tidur nyenyak."

Aza merapatkan pelukannya. 

"Aza, Insya Allah bulan depan ibu akan mendaftarkan kamu sekolah. Kita sekarang menumpang di rumah orang, Ibu harap Aza menjaga sikap. Nggak boleh nakal, mengerti?"

"Benarkah, Ibu? Yeey! Aku akan jadi anak baik, Bu."

"Alhamdulillah. Ini baru anak ibu. Selama ibu bekerja, Aza baik-baik di sini, ya. Jangan buat keributan."

"Siap!"

Kecupan lama mendarat di kepala Aza. Tia bersyukur mempunyai anak yang bisa membuat semangat hidupnya berpendar. Ia akan mencarin nafkah halal untuk menghidupi buah hatinya. Berpegang teguh pada nasihat Kyai Hasan yang selama ini membimbingnya. 

Suara jeritan mengagetkan Tia. Tepat dari sebelah ruangan. Bunyi sesuatu dibanting terdengar jelas. Napas Tia memburu. Ia menepuk dada Aza yang berdegup kencang, menenangkannya. 

Sebenarnya, apa yang terjadi? 

Bersambung Part 7
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lelaki Jahanam Part 6

Trending Now